PERILAKU ETIKA DALAM
BISNIS
A. Lingkungan Bisnis yang Mempengaruhi Perilaku Etika
Pelaku-pelaku
bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing
untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping
itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main
curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main
curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun
keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga
harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang
“etis”.
Pengembangan tanggung
jawab social (social responsibility). Pelaku bisnis disini dituntut untuk
peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan
memberikan sumbanga, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh
kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga
yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan
kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk
meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku
bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab
terhadap masyarakat sekitarnya.
B. Kesaling-Tergantungan Antara Bisnis dan Masyarakat
Alam telah mengajarkan
kebijaksanaan tentang betapa hubungan yang harmonis dan kesalingtergantungan
itu adalah amat penting. Bumi tempat kita berpijak, masih setia bekerja sama
dan berkolaborasi dalam tim dan secara tim dengan planet-planet lain, namun
penghuninya kebanyakan telah berjalan sendiri-sendiri. Manusia yang konon
khalifah di bumi, merasa sudah tidak membutuhkan manusia lainnya. Bukanlah
kesalingtergantungan yang dibina, melainkan ketergantungan yang terus diusung.
Kesalingtergantungan
bekerja didasarkan pada relasi kesetaraan, egalitarianisme. Manusia
bekerjasama, bergotong-royong dengan sesamanya memegang prinsip kesetaraan.
Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika manusia terlalu percaya kepada
keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu keunggulan ras, agama, suku,
ekonomi.
Wajah Indonesia yang carut marut dewasa
ini adalah karena terlalu membuncahnya subordinasi relasi manusia atas manusia
lain. Negara telah dikuasai oleh jenis manusia yang memiliki mentalitas
pedagang. Pucuk kekuasaan telah disulap menjadi lahan bisnis, dimana dalam
dunia bisnis maka yang dikenal adalah tuan dan budak, majikan dan buruh. Dalam
hal ini, yang tercipta adalah iklim ketergantungan, bukan kesalingtergantungan.
C. Kepedulian Pelaku Bisnis Terhadap Etik
Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan
sekarang meluas 4 sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa
yakni Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit
birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah
terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai
tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok
untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman,
implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis
dan para elit politik.
Dalam kaitan dengan etika bisnis,
terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi
syariah selama ini masih cenderung pada sisi "emosional" saja dan
terkadang mengkesampingkan konteks bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar
dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi
syariah. Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak
"mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi. Mengenai
implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa pelaku usaha
memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut. Namun, karena
pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika bisnis berbeda-beda
selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula, Keberadaan etika dan moral
pada diri seseorang atau sekelompok orang sangat tergantung pada kualitas
sistem kemasyarakatan yang melingkupinya.Walaupun seseorang atau sekelompok
orang dapat mencoba mengendalikan kualitas etika dan moral mereka, tetapi
sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem
kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang
sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan
mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi
Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih
belum banyak mendapat perhatian.
D. Perkembangan
Dalam Etika Bisnis
• Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, plato, aristoteles, dan
filsuf – filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan
manusia bersama dalam Negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan
kegiatan niaga harus diatur.
• Masa Peralihan Tahun 1960-an
Ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di
Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan
terhadap establishment (kemapanan). Hal ini member perhatian pada dunia
pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru dalam
kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering dibahas
adalah corporate social responsibility.
• Etika Bisnis Lahir di AS Tahun 1970-an
Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan
masalah – masalah etis sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu
tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunis bisnis di AS.
• Etika Bisnis Meluas ke Eropa Tahun 1980-an
Di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai
berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara
akademis dari Universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business
Ethics Network (EBEN)
• Etika Bisnis Menjadi Fenomena Global Tahun 1990-an
Tidak terbatas lagi pada dunia barat. Etika bisnis
sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telag didirikan Intenational Society for
Business, Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25-28Juli 1996 di Tokyo.
E. Etika Bisnis
dan Akuntan
Timbul dan berkembangnya profesi
akuntan publik di suatu negara adalah sejalan dengan berkembangnya perusahaan
dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara tersebut. Jika
perusahaan-perusahaan di suatu negara berkembang sedemikian rupa sehingga tidak
hanya memerlukan modal dari pemiliknya, namun mulai memerlukan modal dari
kreditur, dan jika timbul berbagai perusahaan berbentuk badan hukum perseroan
terbatas yang modalnya berasal dari masyarakat, jasa akuntan publik mulai
diperlukan dan berkembang. Dari profesi akuntan publik inilah masyarakat
kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak terhadap
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan.
Profesi akuntan publik menghasilkan berbagai jasa bagi
masyarakat, yaitu jasa assurance,
jasa atestasi, dan jasa nonassurance.
•
Jasa assurance adalah jasa
profesional independen yang meningkatkan mutu informasi bagi pengambil
keputusan.
Jasa atestasi adalah suatu pernyataan pendapat,
pertimbangan orang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu
entitas sesuai dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah
ditetapkan. Jasa atestasi terdiri dari audit, pemeriksaan (examination), review, dan
prosedur yang disepakati (agreed upon
procedure).
•
Jasa nonassurance adalah jasa yang
dihasilkan oleh akuntan publik yang di dalamnya ia tidak memberikan suatu
pendapat, keyakinan negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan.
Contoh jasa nonassurance yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik adalah
jasa kompilasi, jasa perpajakan, jasa konsultasi.
Profesi akuntan publik bertanggung
jawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan-perusahaan,
sehingga “masyarakat keuangan” memperoleh informasi keuangan yang handal
sebagai dasar untuk memutuskan alokasi sumber-sumber ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar